Rabu Sore yang Menyentuh Hati: Merenungi Kelahiran Sang Nabi di Musholla Asy-Syarif

Rabu, 4 Juni 2025 — Suasana Musholla Asy-Syarif KPP Pratama Mojokerto sore itu terasa berbeda. Selepas salat Ashar berjamaah, para pegawai duduk rapi menyimak kajian rutin yang kali ini menghadirkan Ustadz Nur Furqon Nasrullah, Lc, dengan tema Sirah Nabawiyah: Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.

Dengan tutur yang hangat dan penyampaian yang menyentuh hati, Ustadz Furqon membawa jamaah menyelami kondisi dunia menjelang kelahiran Rasulullah ﷺ — masa yang tidak hanya penuh kegelapan moral, tapi juga sarat konflik kekuasaan dan penyimpangan agama.

Salah satu peristiwa penting yang dibahas adalah penyerangan Ka’bah oleh Abrahah. Sebagai gubernur Yaman di bawah kekuasaan Habasyah (Ethiopia), Abrahah membangun gereja megah bernama Al-Qullays di kota Sana’a dengan ambisi menjadikannya pusat ziarah umat. Namun, realita tak berjalan sesuai harapan. Masyarakat Arab tetap memilih Ka’bah di Mekkah sebagai kiblat spiritual mereka. Marah karena tempat ibadahnya tidak mendapat sambutan, Abrahah pun melancarkan serangan militer besar-besaran untuk menghancurkan Ka’bah.

Namun Allah menjaga rumah-Nya. Pasukan bergajah itu dihancurkan dengan cara yang tak masuk akal secara logika manusia — burung-burung kecil yang melemparkan batu panas dari neraka, menghancurkan kekuatan besar dalam sekejap. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-Fil, menjadi tanda bahwa kelahiran seorang agung telah dekat.

Tidak lama setelah kejadian itu, lahirlah Rasulullah ﷺ — dalam keadaan yatim, tanpa ayah di sisinya. Ibundanya, Aminah, menimang sang cahaya dalam pelukan yang penuh kasih. Kakeknya, Abdul Muthalib, dan kelak pamannya, Abu Thalib, menjadi pelindung beliau hingga tumbuh dewasa. Meskipun dalam keterbatasan, Allah menyiapkan jalan untuk sang Nabi akhir zaman.

Di akhir kajian, Ustadz Furqon mengingatkan bahwa menjadi yatim tidak selalu soal kehilangan orang tua secara fisik. Beliau mengutip perkataan agung dari Imam Syafi’i:

“ليس اليتيم من مات والده، إن اليتيم يتيم العلم والأدب.”
“Bukanlah anak yatim itu yang wafat ayahnya,
tetapi yatim sejati adalah mereka yang kehilangan ilmu dan adab.”

(Laysa al-yatīm man māta wāliduh, innamā al-yatīm yatīm al-‘ilmi wa al-adab.)

Pesan ini mengena — bahwa kehilangan yang sejati bukan hanya pada keluarga, tapi saat manusia hidup tanpa tuntunan akhlak dan ilmu. Maka duduk di majelis seperti ini adalah ikhtiar agar kita tidak menjadi “yatim” di hadapan Allah dan Rasul-Nya.

Semoga kajian ini tak sekadar menjadi rutinitas, tapi benar-benar menjadi wasilah untuk memperbaiki diri, mengenal sejarah Rasul, dan meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Karena meniti jalan ilmu adalah bagian dari jalan menuju surga, dan mencintai Rasul adalah bagian dari mencintai Allah.

Mari terus hadir, belajar, dan berbagi. Karena di balik lantunan ayat dan kisah para nabi, selalu ada cahaya yang menuntun hati-hati yang rindu kebenaran.

Scroll to Top